Pembuatan Preparat dengan Metode Parafin

Pengertian Metode Parafin

Metode parafin merupakan cara pembuatan preparat permanen yang menggunakan parafin sebagai media embedding dengan tebal irisan kurang lebih mencapai 6 mikron-8 mikron. Metode ini memiliki irisan yang lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin yang tebal irisannya kurang lebih mencapai 10 mikron (Sudiana, 2005).

Sedangkan menurut Mannus (1960) Metode parafin merupakan metode untuk mengeraskan jaringan atau organ yang akan dibuat sediaan dengan metode irisan. Ada 3 macam metode untuk mengeraskan jaringan atau organ yang akan diiris yaitu metode beku, metode seloidin, metode parafin, dan metode penanaman rangkap. Saat ini metode yang paling sering digunakan adalah metode parafin karena hamper semua macam jaringan dapat dipotong atau diris dengan baik bila menggunakan metode parafin (Mannus, 1960).

Metode parafin termasuk metode irisan yang merupakan metode rutin atau standar. Pengamatan secara mikrokopis dari sesuatu jaringan yang normal sifatnya maupun yang mengidap sesuatu penyakit (patologis) akan lebih baik hasilnya bila dilakukan dari preparat jaringan yang telah dipersiapkan secara baik, telah dilakukan penyayatan yang cukup tipis, serta diberi pewarnaan yang sesuai, sehingga berbagai elemen jaringan yang diteliti lebih mudah untuk diamati. (Sugiharto, 1989)

Kelebihan dan Kekurangan Metode Parafin

  • Kelebihan metode parafin antara lain adalah irisan yang dihasilkan lebih tipis dibandingkan dengan metode yang lain. Irisan yang dihasilkan juga bersifat seri, mudah dipraktekkan, dan prosesnya lebih cepat dibadingkan dengan metode seloidin (Suntoro, 1983).
  • Kekurangan metode parafin antara lain yaitu jaringan menjadi keras dan mudah patah, tidak bisa digunakan untuk jaringan besar, dan sebagian enzim pada jaringan akan larut. Pembuatan sediaan dengan metode parafin memerlukan langkah-langkah yang harus dikerjakan dengan urut agar dihasilkan sediaan yang dapat diamati dan dipelajari sesuai tujuan pembuatan sediaan (Suntoro, 1983).

Langkah kerja metode Parafin

narkose, pengambilan organ, fiksasi, pencucian (washing), dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi paraffin, embedding, penyayatan/pengirisan (sectioning), penempelan (affixing), deparafinasi, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labeling(Suntoro, 1983).

Fiksasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mempertahankan kondisi jaringan. Tujuan dari fiksasi adalah untuk mempertahankan morfologi sel seperti semula, untuk mencegah terjadinya otolisis, dan untuk mencegah pertumbuhan bakteri atau jamur. Beberapa jenis bahan yang biasa digunakan sebagai bahan penfiksasi suatu jaringan., yaitu formalin, alkohol, larutan carnoi, larutan zenker, larutan helly, larutan bouin, larutan susa, omium, dan glutaraldehyde (Sudiana, 2005).

Dehidrasi pada pembuatan preparat awetan bertujuan menarik air dari dalam jaringan secara perlahan-lahan agar jaringan tidak mengalami pengkerutan. Bahan yang digunakan adalah etanol dengan konsentrasi yang dinaikan bertahap. Setelah pendehidrasian, selanjutnya dilakukan proses clearing. Bahan yang biasa digunakan, antara lain xylol, toluol, kloroform, dan benzen. Bahan-bahan tersebut berguna sebagai mediator antara larutan dehidrasi yang digunakan dengan larutan embeding yang akan digunakan. Proses penghilangan larutan dehidran dalam jaringan yang disertai dengan proses infiltarasi larutan embedding ke dalam jaringan disebut sebagai impregnasi(Sudiana, 2005).

Pewarnaan pada preparat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pewarnaan umum dan pewarnaan khusus. Pewarnaan umum yaitu pewarnaan yang hanya untuk membedakan antara bagian inti dan sitoplasmanya. Jenis bahan yang iasa digunakan dalam pewarnaan umum adalah hematoksilin-eousin (HE). Pewarnaan khusus adalah pewarnaan yang digunakan untuk melihat satu macam jenis organel atau untuk membedakan jaringan tertentu. Beberapa metode yang digunakan dalam pewarnaa khusus adalah gomori, PAS (periodic acid schiff), imunohistokimia, dan apotag. Prinsip dari pewarnaan jaringan adalah brdasarkan pada afinitas antara zat warna dengan bahan yang diwarnai(Sudiana, 2005).

Daftar Pustaka:

Sugiharto. 1989. Mikroteknik. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati.

Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan Histologi dan Histokimia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Gunarso, Wisnu. 1989. Bahan Pengajaran Mikroteknik. Bogor : DEPDIKBUD Institiut Pertanian Bogor.

Sudiana, K. I. 2005. Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta: CV.Sagung Seto.

Leave a comment